Tujuh Desa Ngadu Ke DPR RI
Laporan Wartawan Bangka Pos, M Ismunadi
JAKARTA -- Penantian panjang itu tak berujung keputusasaan. Setelah merasa aspirasinya kurang mendapat perhatian dari wakil rakyat setempat, tujuh desa di Kabupaten Bangka Barat, yang diwakili tiga orang kuasanya, terbang ke Jakarta untuk menyuarakan haknya.
Kepada Komisi IV DPR RI, mereka menuntut agar perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) PT Bumi Permata Lestari atas tanah seluas 6.906,7 Ha di Kabupaten Bangka Barat dibatalkan. Apalagi perusahaan yang berdiri sejak tahun 1991 itu dinilai tidak memberikan kontribusi bagi warga setempat.
"Kami ini sudah seperti dijajah Pak. Apalagi PT BPL itu tidak ngasih kontribusi buat kita. Diantaranya soal tenaga kerja. Mereka lebih mempekerjakan orang jawa, dan batak, sementara kita sebagai warga setempat tidak terlalu diperhatikan," ungkap Tohir, ketua BPD Desa Dendang saat bertemu Jacobus Carmalo Mayongpadang di gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (29/11).
Tohir menjadi perwakilan tujuh desa di Kabupaten Bangka Barat bersama dengan Kepada Desa Dendang Syahroni dan Gansurita. Ketiganya menyampaikan surat yang berkaitan dengan tuntutannya ke Komisi IV DPR RI. Mereka juga sempat menemui dua anggota Komisi VI, yaitu Jacobus Carmalo Mayongpadang dan Tanzil Linrung, untuk menjelaskan unek-uneknya.
Tujuh desa yang mengajukan tuntutan antara lain desa Dendang, Kacung, Air Bulin, Terentang, Tugang, Ibul, dan Berang. Tuntutan yang diajukan melalui surat nomor 01/FRD/11/2007 itu diajukan menyusul hasil pertemuan rembuk peduli desa pada 4 Agustus 2006 kemudian dilanjutkan kembali pada 18 November 2007 di desa Dendang Kecamatan Kelapa.
"Kita sudah mengajukan masalah ini sejak tahun 2004. Pertemuan dengan DPRD Kabupaten juga sudah dilakukan, tapi sampai sekarang tidak ada hasilnya. Karena itu kita datang ke sini untuk meminta perhatian bapak-bapak wakil rakyat ini," ujar Syahroni, Kades Dendang, kepada Bangka Pos Group di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (29/11).
Syahroni menjelaskan tuntutan diajukan karena dalam perpanjangan HGU, PT BPL tidak pernah melakukan sosialisasi sama sekali. Dengan demikian, seyogyanya HGU yang disetujui Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk jangka waktu 25 tahun terhitung dari 8 Agustus 2031 itu dibatalkan. Sebab, dalam keputusan Menteri Pertanian disebutkan bahwa perizinan usaha perkebunan seharusnya atas persetujuan masyarakat.
"Bagaimana kita memberikan persetujuan kalau sosialisasi saja tidak pernah," tegasnya seraya menambahkan apabila solusi tak kunjung datang maka mereka akan menggelar aksi besar-besaran.
Bom Waktu
Terlepas dari masalah itu, alasan utama dari tuntutan masyarakat di tujuh desa adalah tidak adanya perhatian perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar yang tinggal di wilayah perkebunan sawit yang dikelolanya. Pada awal pendirian PT BPL, kata Syahroni, masyarakat memberikan persetujuan karena katanya perusahaan akan membantu mensejahterakan penduduk setempat.
Menanggapinya, Jacobus Carmalo Mayongpadang, anggota Komisi IV DPR RI asal PDIP, berjanji menindaklanjuti surat tujuh desa Kabupaten Bangka yang telah dimasukkan ke sekretariat komisi IV. Jacobus mengatakan permasalahan seperti ini diibaratkannya sebagai bom waktu yang siap meledak menjadi sebuah revolusi.
Pasalnya, kata Jacobus, permasalahan serupa juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Dan untuk itu, ia bersama rekan-rekan di Komisi IV berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik bagi warga Indonesia yang mengalami masalah yang sama.
"Kalau masyarakat tidak menemukan keadilan maka mereka akan mencari keadilannya sendiri," ujar Jacobus mengibaratkan bom waktu yang disebutkannya. (*)
Comment Form under post in blogger/blogspot