Mega Tidak Seperti Benazir
News Analysis
Adrianus Meliala (Kriminolog UI)
PUTRI mantan Presiden RI pertama, Megawati Soekarno Putri, mengaku sebagai teman dekat pemimpin partai politik oposisi Pakistan, Benazir Bhutto. Keduanya memiliki beberapa kesamaan. Ayah Megawati meninggal di pengasingan, sementara Benazir dikenai hukuman gantung. Kemudian kedua perempuan itu sama-sama memimpin partai politik yang berada di garis oposisi. Apakah Mega bakal bernasib sama seperti Benazir? Kriminolog UI Adrianus Meliala melontarkan pendapat berbeda. Megawati boleh saja memiliki kesamaan dengan Benazir Bhutto. Tapi kejadian yang menimpa Bhutto kecil kemungkinannya dialami Mega. Berikut analisis Kriminolog Adrianus Meliala kepada wartawan Bangka Pos Muhammad Ismunadi, Jumat (28/12).
KESAMAAN gender tidak bisa membuat orang berperilaku paranoid. Dan yang membunuh Benazir Bhutto kan bukan karena dia perempuan, tapi karena dia dianggap berbahaya oleh sejumlah pihak. Malah akan aneh kalau seandainya Megawati berubah karena peristiwa yang di Pakistan itu. Mengapa? Karena tidak ada hubungannya dengan dia.
KESAMAAN gender tidak bisa membuat orang berperilaku paranoid. Dan yang membunuh Benazir Bhutto kan bukan karena dia perempuan, tapi karena dia dianggap berbahaya oleh sejumlah pihak. Malah akan aneh kalau seandainya Megawati berubah karena peristiwa yang di Pakistan itu. Mengapa? Karena tidak ada hubungannya dengan dia.
Kekerasan politik itu khusus terkait pada sistem perpolitikan tertentu. Kalau dalam hal ini yang diributkan adalah perebutan kekuasaan di Pakistan, maka hal itu akan terjadi di sana saja. Bahkan untuk negara tetangganya seperti Bangladesh, juga enggak ada urusannya.
Dan tidak ada hubungannya dengan peningkatan angka kriminal apalagi di Indonesia. Saya kira itu perkiraan yang terlalu jauh. Seperti halnya setiap kekerasan politik, akan terjadi yang namanya lingkaran setan atau lingkaran kekerasan. Konkritnya, kekerasan yang satu dibalas dengan kekerasan yang lain. Jadi dalam hal ini pihak Benazir Bhutto, pendukungnya, tidak akan tinggal diam. Karena mereka berpikir, kalau tidak garis keras yang membunuh Benazir Bhutto maka yang kedua adalah Musharaff.
Dengan demikian para pendukung Benazzir Bhutto akan membalas dan melawan terhadap dua kelompok itu. Nah itulah lingkaran setan yang tidak terputuskan. Enggak ada peristiwa ini pun saya kira sudah ada bom bunuh diri, bom mobil, penembakan, penghilangan tiba-tiba. Kondisi itu sudah identik dengan dunia perpolitikan di Pakistan.
Jadi menurut saya kalau dikatakan memicu, mungkin akan memicu angka kriminalitas. Tapi kalau dikatakan akan menunjukkan angka yang luar biasa, khususnya kejahatan politik saya kira tidak begitu.
Di Indonesia, kejahatan politik umumnya adalah kejahatan yang dilakukan oleh warga negara terhadap negara. Kedua, dalam kejahatan politik, berarti antar sesama warga negara. Misalnya, saling suap, saling jegal dan intimidasi. Itu baru muncul sekarang-sekarang ini ketika sistem politik kita sudah semakin demokratis. Kalau dulu lebih pada bagaimana warga negara, atau lebih direkayasa, untuk melakukan suatu kejahatan terhadap negara.
Perkembangan politik Indonesia ke depan? Saya kira yang penting jangan sampai warga negara Indonesia mengenal yang namanya penggunaan senjata. Politik itu memang keras, tapi kalau cuma kata-kata keras seperti banci lu..., brengsek lu... ya biar aja. Tapi kalau sudah main parang, peluru, bom, itu sudah berbahaya. Untuk mencegah itu, saya kira aparat hukum jangan sampai berpihak.
Dalam konteks pakistan, itu kan tentaranya berpihak kepada partai Musharaff. Jadi tidak bisa lagi netral. Makanya diduga Musharaff berada di balik ini. Tapi kalau tentaranya netral, polrinya netral, dan akan menangkap siapa pun yang terlibat dalam tindakan kekerasan, saya kira tidak usah takut bahwa peristiwa di Pakistan akan terjadi di negeri ini. Pada Pemilu 2004, saya melihat TNI dan Polri masih netral. Dan saya harap dengan semakin demokratisnya TNI dan Polri maka dia bisa menjaga kenetralannya. (*)
Comment Form under post in blogger/blogspot