Subscribe

Statistik Pengunjung

Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Rabu, 08 Oktober 2008

BELAJAR DARI "LASKAR PELANGI"

SUNGGUH saya iri dengan mahasiswa maupun dosen saat ini yang dapat menggunakan fasilitas internet gratis baik siang, malam, maupun pagi karena kampus telah menyediakan fasilitas Wi-Fi seperti apa yang ditulis oleh saudara Susilo Mansurudin (6/5/08).

Betapa tidak, mahasiswa Indonesia dengan mudahnya dapat mengikuti perkembangan pengetahuan melalui tokoh-tokoh terkenal dengan cukup meng-klik sajian layanan kuliah umum misalnya Richard Dawkins, Slavoj Zizek, Alain Badiou, bahkan kita dapat menikmati komentar video rekaman dari seorang Noam Chomsky melalui situs Youtube.

Di samping itu, mahasiswa maupun dosen juga dapat kemudahan fasilitas gratis beberapa buku yang dapat diunduh dari situs Rapidshare. Luar biasa! Inilah satu keunggulan teknologi internet dapat mengunduh pengetahuan dalam hitungan detik informasi selalu berganti. Oleh karena itu, siapa pun yang menguasai informasi dan teknologi, dialah yang akan menguasai dunia.

Ketika saya dulu kuliah, tidak ada fasilitas internet. Maka bersyukurlah mahasiswa maupun dosen sekarang yang telah ada internet gratis dan digunakan sebagaimana mestinya untuk kepentingan penambahan ilmu pengetahuan. Dengan adanya bekal pengetahuan, niscaya antara dosen dan mahasiswa dapat berdebat mengenai informasi yang terkini, teori, postulat, maupun pemikiran terkini.

Tidaklah heran jika ada seorang mahasiswa akhirnya memiliki pengetahuan lebih yang luar biasa daripada dosennya karena ketekunannya berselancar untuk mengetahui pengetahuan atau teori yang terkini lewat komentar orang atau tokoh-tokoh terkenal.

Di mata mahasiswa, klasifikasi dosen juga banyak. Dosen favorit yang selalu memberikan kemudahan-kemudahan dalam tugas-tugas kepada mahasiswa. Ada dosen apa adanya, yang selalu kuliah buku dan pengetahuannya tidak berkembang meski berganti tahun dan telah naik pangkat dan jabatan.

Ada dosen yang terlalu kaku, streng, dan berpendirian kuat tak mau dikalahkan pendapatnya oleh siapa pun, apalagi oleh mahasiswa. Ketika ada dosen yang seperti ini, di mata mahasiswa dianggap sebagai dosen kokoh, kuat, mengingat selalu berpatokan pada ilmu maupun buku-buku yang dianggap mewakili pemikirannya. Tidak heran pula seorang profesor pun akan selalu menahan gengsi dan prestise di hadapan mahasiswa demi mempertahankan argumentasinya, meskipun sebenarnya pendapatnya tersebut sudah usang.

Sebagai kompensasi, terkadang ada dosen yang menindak mahasiswa dengan nilai yang kurang memuaskan, meskipun si mahasiswa cukup tangguh dengan pendapatnya. Maka dosen ini sering disebut dosen killer karena tidak mau menerima pengetahuan baru, apalagi dari mahasiswanya. Sebagai penutup kedok ke-katrok-annya, dosen ini terkadang tidak meluluskan mahasiswanya.

Belajar dari Lintang

Apakah ada dosen yang tidak memahami materi perkuliahan? Lihat saja tulisan saudara Wayan (Kompas, 15/5/08) bahwa masih banyak dosen yang kurang begitu menguasai teknologi. Bahkan, ketika di kelas pun, ketika mengajar kurang bisa memberikan teknik penguasaan kelas. Salah satunya penggunaan teknologi dengan Power Point oleh dosen ketika mengajar dengan kisi-kisi materi, sering kali si dosen juga kurang begitu memahami makna slide-slide yang ditulis, bahkan cenderung hanya membaca tanpa mengerti dan memahami apa yang ditulis di slide.

Teknologi memang menghasilkan kemudahan sekaligus ada impak yang harus diterima sebagai konsekuensi logis atas hebatnya perkembangan pengetahuan. Bagi mahasiswa, di mata dosen kehadiran internet dengan segala pengetahuan yang ada memberikan fasilitas kemudahan hingga
memanjakan mahasiswa tidak lebih berpikir kreatif mandiri dan kritis (Mansurudin, 6/5/08). Seharusnya, dengan teknologi yang ada data dimanfaatkan dengan signifikan oleh mahasiswa maupun dosen tanpa ada yang mendiskreditkan di antara keduanya.

Belajarlah dari kasus Lintang, tokoh genius yang belum mengenal komputer, yang dapat mengalahkan seorang guru Fisika lulusan S2 PTN negeri Jakarta (P. Zulfikar). Lintang hanya belajar dari beberapa buku Belanda sambil mengerjakan piket menyapu setiap kali mendapat tugas dari Bu Mus (guru). Meski setiap hari menempuh jarak 80 km menuju sekolah, seorang Lintang dapat membuka dunia dengan berbagai kecanggihan pendapat-pendapatnya dengan mendeskripsikan dengan tuntas dari Descartes, Newton maupun Einstein. (Lihat Laskar Pelangi, 2007: 363-384).

Oleh karena itu, antara dosen dan mahasiswa tidak usah saling mendiskreditkan dosen katrok atau mahasiswa "copy and paste" atas kebenaran pengetahuan. Namun, masing-masing perlu memahami perkembangan pengetahuan sedemikian dahsyat, siapa pun berhak untuk mengetahui dan mengunduhnya.

Dosen juga harus bersikap lapang dada untuk menerima kebenaran pengetahuan terkini meski itu datangnya dari mahasiswa sendiri. Tidak angkuh, arogan, dan mau menang sendiri dengan menggunakan otoritasnya dengan menekan mahasiswa dengan buntut ketidaklulusan. Mahasiswa juga tidak boleh bersikap arogan ketika dapat memenangkan kebenaran pengetahuan dengan mengalahkan dosen. Sikap santun dan sopan dari tradisi keilmiahan harus tetap dijaga.

Akhirnya, syukurilah kemudahan penjelajahan internet untuk kebenaran pengetahuan bukan saling menyalahkan. Belajarlah dari novel Laskar Pelangi, munculnya mutiara pengetahuan bisa datang dari mana saja.

Nuraini Susanti
Guru TK Cempaka Jalan
Kertosentono 103, Malang

Sumber: Kompas, 11 Juni 2008


Yahoo bot last visit powered by MyPagerank.Net

Powered by  MyPagerank.Net